Tarif Diturunkan, Harga Diri Dijual: Indonesia Dalam Jerat Kesepakatan Dagang Kapitalistik


Oleh: Ali Akbar Albuthoni [IG: instagram.com/aliakbaralbuthoni]

Tidak ada makan siang gratis dalam sistem kapitalisme.
Penurunan tarif bea masuk dari 32% menjadi 19% yang diumumkan sebagai “kemenangan diplomasi” pemerintah Indonesia, sesungguhnya adalah paket penuh penyerahan ekonomi nasional kepada kepentingan imperialisme Amerika Serikat.

Faktanya, tarif turun karena Indonesia tunduk pada prasyarat brutal: pembelian besar-besaran produk AS, mulai dari US$15 miliar energi, US$4,5 miliar produk pertanian, hingga 50 unit pesawat Boeing 777. Nilainya lebih dari Rp 312 triliun, belum termasuk tambahan biaya cadangan devisa untuk pembayaran. [Sumber: BPS, BI, per 2025]

Apakah ini diplomasi cerdas? Atau bentuk penaklukan ekonomi secara halus?

“Kemenangan” yang Merugikan

1️⃣ Tarif Tidak Seimbang:
Indonesia menerima tarif ekspor ke AS sebesar 19%, sementara barang dari AS masuk Indonesia dengan tarif 0%. Ini menciptakan ketimpangan serius dalam perdagangan internasional.

2️⃣ Defisit Semakin Dalam:
Neraca perdagangan migas Indonesia sudah defisit US$6,19 miliar (Q1 2025) [BPS]. Transaksi berjalan defisit US$0,2 miliar, neraca pembayaran US$0,8 miliar, cadangan devisa menurun. Kurs rupiah anjlok ke Rp 16.555 per USD (BI, Maret 2025).

3️⃣ Pasar Domestik Dijajah:
Produk pertanian & energi AS membanjiri pasar lokal. Petani lokal terancam. Industri lokal tercekik. Kedaulatan pangan dan energi semakin rapuh.

Kapitalisme = Ketidakadilan Struktural

Kesepakatan ini mencerminkan wajah asli sistem perdagangan kapitalistik global: relasi dominan-tertindas, pemaksaan bukan kemitraan. Inilah bentuk modern dari imperialisme ekonomi — bukan dengan meriam dan peluru, tapi dengan kontrak dagang yang mencekik. AS bertindak sebagai preman pasar, Indonesia sebagai pedagang yang dipalak.

Ini Bukan Diplomasi, Ini Penjajahan

Praktik sistem perdagangan internasional saat ini tidak adil dan bertentangan dengan Islam. Dalam sistem Islam (Khilafah), perdagangan:
1. Harus berdasarkan asas keadilan (العدل) dan kesetaraan (التكافؤ) tanpa unsur eksploitasi.
2. Negara Islam tidak tunduk pada tekanan negara kafir harbi fi’lan (yang memusuhi) seperti AS.
3. Perdagangan dengan negara kafir harbi fi’lan hukumnya haram, karena membuka celah bagi penjajahan dan penyerangan.
[Referensi: Nizhām al-Iqtishād fī al-Islām, Hizb ut Tahrir, Muqaddimat ad-Dustur, Pasal 189. Afkār Siyāsiyyah li Hizb at-Tahrīr, Bab Relasi Internasional]

Solusi Islam: Tegaknya Sistem Ekonomi Islam Kaffah dalam sistem Khilafah

Indonesia tidak akan pernah lepas dari dominasi asing selama tetap berada dalam kerangka kapitalisme neoliberal. Solusi tuntas hanya akan datang dari perubahan sistemik menuju sistem Islam kaffah.

Solusi Ekonomi Islam Kaffah:
1. Melarang dominasi negara kafir atas ekonomi umat.
2. Mengelola SDA dan energi sebagai milik umum, bukan diperjualbelikan.
3. Mengembangkan industri mandiri dan perdagangan berbasis syariah.
4. Menghapus utang luar negeri dan skema perdagangan timpang.

Dengan sistem ini, negara tidak akan tunduk pada tekanan ekonomi imperialis. Justru Khilafah akan menjadi kutub baru ekonomi dunia yang adil dan bebas dari eksploitasi.

Kesimpulan:
Kesepakatan dagang Indonesia-AS ini bukan kemenangan diplomasi, tapi bukti keruntuhan kedaulatan ekonomi. Pemerintah telah menukar harga diri dan masa depan bangsa dengan segenggam kesepakatan yang timpang.

Kita butuh sistem baru. Bukan hanya ganti presiden. Tapi ganti sistem dari kapitalisme menuju Islam kaffah.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *